Senin, 30 Maret 2020

Makna Al-Quran Lengkap

Makna Al-Quran Lengkap

Sedari kecil ummat Islam kebanyakan diajari untuk membaca Qur’an oleh kedua orangtua mereka. Untuk keperluan ini bermacam metode studi baca Qur’an tersedia, sebut saja layaknya metode al-Baghdadi (klasikal), Iqro, Ummi, Kibar, Tilawati dan lain sebagainya. Ada banyak sekali metode pembelajaran baca Qur’an yang tersedia di masyarakat.

Semua hal tersebut mempunyai satu fokus yang sama, yakni mengajari penduduk untuk dapat membaca Qur’an dengan baik dan benar. Bukan tanpa alasan hal tersebut dilakukan, ini gara-gara sesungguhnya seorang muslim terlampau harus untuk dapat membaca Qur’an yang merupakan kitab suci mereka. Alhasil, berasal dari kerja keras bermacam pihak tersebut Allah karuniakan penduduk Indonesia kapabilitas untuk dapat membaca Qur’an.

Yang jadi masalah, kebanyakan kami berhenti cuma cuman dapat membaca Qur’an saja. Merasa senang dengan dapat membaca ayat-ayat Qur’an yang tersusun indah di di dalam mushaf. Padahal, hendaknya kami tidak berhenti hingga di sana saja. Selain dapat membaca Qur’an alangkah baiknya jikalau kami pun berlanjut kepada level selanjutnya, yakni mempelajari tafsirnya dengan baik. Ini tidak lain dan tidak bukan agar pemahaman kami pada apa yang kami baca jadi benar dan terarah.

Yang jadi masalah, kebanyakan kitab-kitab tafsir ditulis di dalam bahasa Arab. Ini pastinya jadi kendala bagi kami yang kebanyakan tidak dapat berbahasa Arab. Selain itu, kebanyakan kitab-kitab tafsir mempunyai kuantitas halaman yang banyak, agar jadi tidak tipis dan mahal harganya. Semua hal ini pastinya mempersulit akses kami untuk dapat studi tafsir dengan komprehensif.

Untuk menangani masalah-masalah itulah web site TafsirWeb hadir. Pada web site TafsirWeb insyaaAllah bermacam persoalan tersebut dapat diatasi, dengan menghadirkan koleksi tafsir ringkas yang gratis dan dibuka kapanpun dan di manapun. Tentunya di dalam bahasa Indonesia agar dapat membawa manfaat yang luas untuk ummat Islam pada umumnya.

Dengan visi jadi pusat rujukan tafsir terpercaya, maka bukan sembarang tafsir yang dihidangkan di web site ini. Akan tetapi tafsir-tafsir yang dikeluarkan oleh instansi terpercaya layaknya yang dikeluarkan Kementrian Agama RI, berasal dari Kementrian Agama Saudi Arabia, Tafsir al-Mukhtashar yang disupervisi Dr. Shalih Humaid (Imam Masjidil Haram) dan lain sebagainya.

Yang Mana Yang Didahulukan Untuk Dibaca? Membaca tafsir Qur’an ringkas di web site TafsirWeb insyaaAllah terlampau mudah dan cepat. Selain itu juga gratis, agar tidak bakal memakan biaya. Yang jadi persoalan berikutnya adalah, surat dan ayat apa saja yang sebaiknya lebih dahulu dibaca?

Menurut irit kami, yang terbaik adalah membaca tafsir berasal dari surat dan ayat yang kerap dibaca/didengar terlebih dahulu. Agar kala kami ulang membaca/mendengarnya, kami segera dapat memaknainya dengan baik dan benar. Dengan persyaratan layaknya itu, tersebut surat-surat yang kami anjurkan untuk dipelajari terlebih dahulu sebelum saat berlanjut ke surat lainnya:

Surat Al Fatihah. Tidak dapat tidak, ini adalah surat yang pertama-tama harus kami pahami tafsirnya. Sebagai surat yang kami baca minimal 17 kali di dalam sehari, pasti udah sepantasnya kami prioritaskan untuk mempelajari surat yang satu ini.

Surat Al Baqoroh. Surat setelah itu sehabis al-Fatihah juga sebagai surat yang setelah itu kami anjurkan untuk dipelajari tafsirnya. Temukan ratusan faidah di dalam perkara aqidah, ibadah, syari’ah, hingga muamalah di di dalam tafsir surat ini.

Surat Yasin. Terlepas berasal dari kontroversi fiqih di dalam mengkhususkan membaca surat ini, udah sepantasnya surat yang kerap dibaca oleh penduduk Indonesia ini dimengerti dengan baik maknanya dan tafsirnya.

Surat Al Kahfi. Sungguh kisah ashabul kahfi terlampau sarat mutiara faidah yang tidak selalu dapat kami dapatkan di dalam kisah-kisah lainnya, pelajari lebih detil tentang mereka pada tafsir surat ini. Cermati juga kisah perjalanan Nabi Musa di dalam menuntut ilmu, tetap di dalam tafsir surat yang sama.

Surat Al Waqiah. Jika udah datang al-Waqiah (hari kiamat), … begitulah tema besar berasal dari surat yang satu ini. Sebuah surat yang menggetarkan hati orang-orang yang berkenan menyita pelajaran.

Surat Ar Rohman. Surah yang jadi favorit banyak orang untuk dibaca dan didengarkan, gara-gara indahnya lapisan kalimat di dalamnya. Akan tetapi tidak cuman indah lapisan katanya, ternyata indah juga bermacam pelajaran yang terkandung di dalamnya.

Surat Al Mulk. Surat singkat tiga puluh ayat ini harus untuk dimengerti maknanya dengan baik. Agar kami jadi mengenal tentang kekuasaan Allah, lewat tafsir dan tadabbur atas ayat-ayat Allah.

Surat Ad Dhuha. Waktu yang udah ribuan kali kami lalui di dalam hidup yang singkat ini. Bukan sembarang waktu, gara-gara tersedia banyak faidah di dalam kala tersebut. Apa saja? Silakan lihat tafsirnya.

Surat An Naba. Inilah surat yang berisikan gambaran beberapa kejadian di akhirat, surat yang berisikan berita besar yang dipersilisihkan kebenarannya oleh orang-orang yang tidak beriman. Simak dengan baik penjelasan tentangnya.

Surat Yusuf. Bagaimana kisah kesabaran nabi Yusuf atas musibah dan ujian yang menimpanya? Bagaimana kesabaran nabi Ya’qub di dalam menerima musibah yang menderanya? Apa saja hikmat yang terkandung di dalam panjangnya kisah mereka? InsyaaAllah di sini tersedia jawabannya.

Demikian di antara surat-surat yang kami anjurkan untuk dibaca terlebih dahulu sebelum saat yang lainnya, berdasarkan popularitas surat-surat tersebut di tengah-tengah ummat Islam. InsyaaAllah berfaedah untuk dipelajari terlebih dahulu sebelum saat berlanjut ke surat yang lainnya.

Moga dapat jadi cara awal untuk mendukung kami tertarik untuk membaca tafsir Qur’an, lantas berlanjut membaca tafsir surat lainnya hingga tamat semua surat di dalam al-Qur’an. Wallahu waliyyut taufiiq.

http://www.treffpunkteltern.de/foren/viewtopic.php?p=1286699
https://uberant.com/article/902848-membuat-blog-untuk-bisnis-kita/
http://un-act.org/forums/users/donabisnis/
Baca selengkapnya
Kaidah Keliru Dalam Beragama

Kaidah Keliru Dalam Beragama

Di sedang masyarakat beredar kaidah-kaidah yang mereka jadikan acuan di dalam beragama. Padahal kaidah-kaidah berikut tidak tersedia asalnya dari para salafus shalih dan para ulama Ahlussunnah. Terlebih kembali kaidah-kaidah ini mempunyai masalah dan bertentangan bersama dengan syariat.

Diantaranya adalah kaidah-kaidah berikut ini, yang secara umum merupakan kaidah yang batil dan keliru. Walaupun memang, kaidah-kaidah ini dapat dimaknai benar bersama dengan syarat dan ketetapan khusus.

Kaidah: “kita tolong-menolong di dalam perkara yang kita sepakati, dan kita saling berikan udzur di dalam perkara yang kita perselisihkan”
Jelas kaidah ini keliru, bertentangan bersama dengan firman Allah:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“saling tolong menolonglah di dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong menunjang di dalam dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2).

Ayat ini menyatakan bagwa tolong menunjang itu bukan di dalam perkara yang disepakati oleh manusia, tapi di dalam kebaikan dan ketaatan. Jika sekelompok orang sepakat melaksanakan bid’ah, maka selamanya tidak boleh tolong-menolong di dalam kebid’ahan. Kaidah di atas terhitung bertentangan bersama dengan firman Allah:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika anda berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), terkecuali anda terlampau beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikianlah itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Maka di dalam perkara yang kita perselisihkan, sikap yang benar bukan berikan saling berikan udzur, tapi kita kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Jadikan dalil sebagai kata pemutus. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan:

ويقول نجتمع فيما اتفقنا عليه , ويعذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا فيه. هذا لا شك أنه كلام باطل. فالواجب أن نَجتمع على كتاب الله وسُنة رسوله، و ما اختلفنا فيه نردُّه إلى كتاب الله وسُنة رسوله، لايعذر بعضنا بعضاً و نبقى على الاختلاف؛ بل نردُّه إلَى كتاب الله وسُنة رسوله، و ما وافق الْحَقَّ أخذنا به، و ما وافق الخطأ نرجع عنه . هذا هو الواجب علينا ، فلا تبقى اﻷمة مُختلفةً

“Kaidah: kita bersatu di dalam perkara yang kita sepakati, dan kita saling berikan udzur di dalam perkara yang kita perselisihkan. Ini tidak curiga kembali adalah perkataan yang batil. Wajib bagi kita semua untuk bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul, bukan jadi kita saling bertoleransi dan melepas selamanya pada perbedaan. Bahkan yang benar adalah kita kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Pendapat yang bersesuaikan bersama dengan kebenaran, kita ambil, pendapat yang tidak benar maka kita tinggalkan. Itulah yang harus bagi kita, bukan melepas umat selamanya pada perselisihan” (Syarah Ushul As Sittah, hal. 20-21).

Namun, kaidah di atas dapat menjadi benar terkecuali yang dimaksud adalah perkara yang ulama ijma (sepakat) itu disyariatkan, maka memang benar kita hendaknya saling-menolong. Juga terkecuali yang dimaksud adalah perkara khilafiyah ijtihadiyyah saaighah, maka memang benar kita hendaknya saling berikan udzur. Ibnu Hashar menyatakan suatu kaidah penting:

وليس كل خلاف جاء معتبرا إلا خلافا له حظ من النظر

“Tidak semua khilafiyah itu dianggap, tapi yang diakui khilafiyah adalah yang mempunyai segi pendalilan yang benar”.

Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: “Ada banyak persoalan yang para ulama berlapang dada di dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, sebab tersedia sebagian pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka di dalam persoalan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap orang yang berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan seharusnya kita mentoleransi setiap pendapat selama bersandar pada dalil shahih, meskipun kita menganggap pendapat yang kita pegang itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)

Kaidah: “lihat apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang berkata” Yang benar, di dalam kasus dunia dan lebih kembali di dalam kasus agama, kita harus selektif dan perhatikan bersama dengan baik siapa yang berkata? Allah ta’ala berfirman:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

“Dan sungguh Allah sudah turunkan kemampuan kepada anda di di dalam Al Quran bahwa sekiranya anda mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah anda duduk beserta mereka, agar mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena memang (kalau anda berbuat demikian), tentulah anda sama bersama dengan mereka. Sesungguhnya Allah dapat menghimpun semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di di dalam Jahannam” (QS. An Nisa: 140).

Ayat ini melarang duduk-duduk di majelis orang yang buruk. Maka artinya, harus selektif menentukan majelis. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terhitung bersabda:

إن من أشراط الساعة أن يلتمس العلم عند الأصاغر

“Diantara sinyal kiamat adalah orang-orang menuntut pengetahuan dari al ashaghir (ahlul bid’ah)” (HR. Ibnul Mubarak di dalam Az Zuhd [2/316], Al Lalikai di dalam Syarah Ushulus Sunnah [1/230], dihasankan Al Albani di dalam Silsilah Ash Shahihah [695]).

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mewanti-wanti pada ahlul bid’ah yang menjadi pengajar. Maka ini menyatakan harus selektif di dalam mengambil ilmu. Demikian terhitung kasus dunia, harus dicermati siapa yang mengatakannya. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang- orang yang beriman, terkecuali tersedia seorang faasiq berkunjung kepada kalian bersama dengan mempunyai suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, sesudah itu kelanjutannya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian” (QS. Al-Hujurat: 6).

Maka mengerti kelirunya kaidah di atas. Namun kaidah di atas dapat benar, terkecuali di bawakan di dalam bab “menerima kebenaran”. Jika suatu perkataan sudah tersampaikan, entah disengaja atau tanpa sengaja sampainya, dan itu bersesuaian bersama dengan kebenaran, maka harus diterima siapapun yang mengatakannya. Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang mempunyai kabar dari setan tapi dibenarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,

قَالَ دَعْنِى أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا . قُلْتُ مَا هُوَ قَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ . فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ ، فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ » . قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِى كَلِمَاتٍ ، يَنْفَعُنِى اللَّهُ بِهَا ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ . قَالَ « مَا هِىَ » . قُلْتُ قَالَ لِى إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ مِنْ أَوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) وَقَالَ لِى لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ ، وَكَانُوا أَحْرَصَ شَىْءٍ عَلَى الْخَيْرِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ » . قَالَ لاَ . قَالَ « ذَاكَ شَيْطَانٌ »

Setan berkata, “Biarkan mengajarimu suatu kata-kata yang dapat berguna untukmu”. Abu Hurairah bertanya, “Apa itu?” Setan pun menjawab, “Jika engkau hendak tidur, bacalah ayat kursi ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum‘ sampai selesai. Maka Allah dapat selamanya menjagamu dan setan tidak dapat mendekatimu sampai pagi hari”. Abu Hurairah berkata, “Aku pun melepas diri setan tersebut. Dan disaat pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan padaku, “Apa yang dijalankan oleh tawananmu semalam?”. Abu Hurairah menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kata-kata yang Allah beri kegunaan padaku terkecuali membacanya. Sehingga saya pun melepas dirinya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kata-kata tersebut?” Abu Hurairah menjawab, “Ia menyatakan padaku, terkecuali saya hendak tidur hendaknya membaca ayat kursi sampai selesai, yaitu ayat ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’. Lalu ia menyatakan padaku bahwa Allah dapat selamanya menjagaku dan setan pun tidak dapat mendekatimu sampai pagi hari. Dan dahulu para teman akrab adalah orang-orang yang paling stimulus di dalam melaksanakan kebaikan”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Dia (setan) sudah menyatakan kebenaran, meskipun asalnya dia adalah makhluk yang banyak berdusta. Engkau mengerti siapa yang berbicara padamu di dalam tiga malam kemarin, wahai Abu Hurairah?”. Abu Hurairah menjawab: “Tidak tahu”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari no. 2311).

Perkataan setan selamanya dibenarkan terkecuali memang bersesuaian bersama dengan kebenaran. Dan pastinya untuk menilai suatu perkataan itu  bersesuaian bersama dengan kebenaran atau tidak, ini perlu ilmu. Bukan bersama dengan asumsi baik atau perasaan.

Kaidah: “ambil baiknya, membuang buruknya" Kaidah ini terhitung bertentangan bersama dengan dalil-dalil di poin ke-2 di atas tentang wajibnya selektif di dalam melacak kebenaran dan melacak ilmu. Bukan ambil dari sembarang orang lalu menjadi dapat mengambil baiknya dan melenyapkan buruknya.

Kaidah ini terhitung bertentangan bersama dengan akal sehat. Karena bagaimana bisa saja pencari kebenaran dan penuntut pengetahuan mengerti mana yang baik dan mana yang buruk, padahal dia baru saja menghendaki studi dan mencari?! Padahal mengerti mana yang baik dan mana yang buruk perlu kepada ilmu.

Namun kaidah ini dapat benar terkecuali diterapkan pada orang yang mayoritasnya baik dan di atas kebenaran tapi dia tergelincir pada sebagian kekeliruan. Seperti disaat berguru pada seorang ulama yang berpegang pada sunnah dan akidah yang lurus. Maka pasti saja ulama sebagaimana manusia biasa, ia tidak sempurna, kadangkala tersedia kekurangan di dalam dirinya bersifat sebagian akhlak yang buruk atau lainnya. Maka di sini baru diterapkan, “ambil baiknya, membuang buruknya”. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ زَلَّاتِهِمْ

“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban 94). dalam riwayat lain:

أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم ، إلا الحدود

“Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), terkecuali terkecuali terkena hadd” (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani di dalam Ash Shahihah, 638).

https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/jsk/comment/view/827/0/328956
https://www.uphillathlete.com/forums/users/donabisnis/
http://url.ie/1izbx
Baca selengkapnya
Kesempatan Mengetuk Pintu Raja

Kesempatan Mengetuk Pintu Raja

Mengetuk Pintu Sang Raja Sahabat ‘Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dulu berujar,

مَا دُمْتَ فِي صَلاةٍ فَأَنْتَ تَقْرَعُ بَابَ الْمَلِكِ ، وَمَنْ يَقْرَعْ بَابَ الْمَلِكِ يُفْتَحْ لَهُ

“Engkau sedang mengetuk pintu Sang Raja di selama shalat. Dan setiap orang yang mengetuknya, niscaya bakal dibukakan jalur keluar.” [Shifat ash-Shafwah, 1:156]

Siapakah Raja dimaksud, yang senantiasa kita ketuk pintu-Nya di setiap kali shalat? Tentulah Dia adalah Allah, Rabb semesta alam, yang di Tangan-Nya-lah segala perbendaharaan bumi dan langit berada, begitu pula bersama dengan seluruh perbaikan hati dan situasi yang dialami hamba.

Kesempatan mengetuk pintu Sang Raja tidaklah terbatas di pas pelaksanaan shalat lima pas semata. Akan tetapi, Allah Ta’ala memberikan banyak kesempatan selama siang dan malam. Hebatnya lagi, Allah Ta’ala justru bergembira terkecuali para hamba-Nya senantiasa mengetuk pintu-Nya, memanjatkan keinginan dan keinginan kepada-Nya. Hal yang sungguh berlainan terkecuali kita melaksanakan hal yang serupa kepada makhluk. Mereka bakal menggerutu dan justru jemu bersama dengan keinginan yang kita melaksanakan terus-menerus!

Kesempatan kita untuk mengetuk pintu Sang Raja adalah kesempatan yang berharga, tetapi tidak harus menghendaki izin atau memicu janji sebagaimana hal itu harus ditunaikan khususnya dahulu terkecuali kita ingin bersua bersama dengan raja-raja dan orang-orang mutlak di dunia. Kesempatan yang merupakan nikmat luar biasa layaknya yang dikatakan al-Muzani rahimahullah,

من مثلك يا ابن آدم؟! خلي بينك وبين المحراب والماء ، كلما شئت دخلت على الله عز وجل ليس بينك وبينه ترجمان

“Siapakah yang hidupnya lebih nikmat darimu, wahai anak cucu Adam?! Engkau mampu berkhalwat di didalam mihrab bermodalkan air untuk berwudhu, supaya setiap kali ingin bersua bersama dengan Allah, Engkau tinggal masuk ke didalam mihrab dan mengerjakan shalat, dimana Engkau mampu berkomunikasi bersama dengan Allah tanpa adanya penerjemah.” [az-Zuhd, hlm. 246]

Bukan Berarti Solusi bakal Otomatis dan Segera Diberikan Akan tetapi, dikala kawan baik Abdullah ibn Mas’ud radhiallahu ‘anhu tunjukkan bahwa setiap orang yang mengerjakan shalat sedang mengetuk pintu Allah Ta’ala dan tentu bakal menemui solusi atas permasalahan hidup yang dikeluhkannya, hal itu bukan berarti bahwa solusi bakal otomatis dan segera diberikan. Terkadang Allah Ta’ala menunda untuk membuka pintu-Nya dan memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi hamba-Nya gara-gara adanya hikmah yang mendalam. Dengan demikian, ada kebaikan di atas kebaikan yang kemungkinan tidak bakal diperoleh hamba dikala do’a dan permintaannya segera dikabulkan Allah Ta’ala!

Boleh jadi tertundanya jalur muncul atas permasalahan yang dihadapi hamba melahirkan berbagai ibadah terhadap diri hamba layaknya ikhbaat (merendahkan diri di hadapan Allah) dan inaabah (kembali kepada Allah); merasakan kelezatan tatkala memohon dan bermunajat kepada Allah; dan berbagai ibadah kalbu yang membawa kehidupan bagi hati, yang kemungkinan tidak dulu terbayang didalam benak hamba sebelumnya.

Setiap orang yang berkelanjutan mengetuk pintu Sang Raja, tentu bakal mendapatkan solusi atas permasalahannya. Akan tetapi, apakah hakikat solusi itu? Apakah hanya terkabulnya do’a semata? Sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pengabulan do’a itu hanya tidak benar satu tanggapan atas do’a yang dipanjatkan hamba. Terkadang Allah menghambat musibah supaya tidak menimpa hamba, yang mampu jadi lebih jelek dari permasalahan yang sedang dihadapi. Atau Allah menundanya supaya balasannya diberikan kelak di hari kiamat. Minimal, dan tentu hal ini bukan berarti sedikit, Allah bakal memutuskan pahala atas upayanya mengetuk pintu Sang Raja, pahala yang tentu sangat diperlukan gara-gara lebih bernilai daripada seisi dunia di pas seluruh hamba membaca lembaran-lembaran catatan amalnya.

Solusi yang lebih besar dari itu seluruh adalah Allah Ta’ala menjadikan hamba cinta dan larut didalam kesenangan bermunajat, memanjatkan do’a kepada-Nya, dan merasakan kedekatan dengan-Nya. Tidak ada nikmat dunia yang sepadan bersama dengan itu, dan tidak ada musibah yang lebih besar dikala hamba kehilangan setelah mampu merasakannya. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

العبد قد تنزل به النازلة فيكون مقصوده طلب حاجته، وتفريج كرباته، فيسعى في ذلك بالسؤال والتضرع، وإن كان ذلك من العبادة والطاعة، ثم يكون في أول الأمر قصده حصول ذلك المطلوب: من الرزق والنصر والعافية مطلقا، ثم الدعاء والتضرع يفتح له من أبواب الإيمان بالله عز وجل ومعرفته ومحبته، والتنعم بذكره ودعائه، ما يكون هو أحب إليه وأعظم قدرا عنده من تلك الحاجة التي همته. وهذا من رحمة الله بعباده، يسوقهم بالحاجات الدنيوية إلى المقاصد العلية الدينية

“Terkadang hamba mengalami permasalahan, supaya dia pun punya tujuan memanjatkan keperluan dan memohon solusi dari kesulitan. Hal itu mendorongnya untuk menghendaki dan merendahkan diri di hadapan Allah, yang merupakan tidak benar satu wujud ibadah dan ketaatan. Pertama kali boleh jadi tujuan hamba itu adalah sekadar mendapatkan rizki, pertolongan, dan keselamatan yang diinginkan. Namun, do’a dan perendahan diri membukakan pintu keimanan, makrifat, dan kecintaan kepada Allah; berikan kesempatan kepada dirinya untuk bersenang-senang bersama dengan berdzikir dan berdo’a kepada-Nya, yang seluruh itu sesungguhnya lebih baik baginya dan lebih bernilai daripada keperluan duniawi yang diinginkannya. Inilah tidak benar satu wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, di mana Dia menggiring hamba untuk memanjatkan keperluan dunianya, tetapi memberikan hasil mulia yang membawa kebaikan terhadap agama” [Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim, 3: 312-313]

Semoga Allah Ta’ala tidak menghalangi diri kita dari kelezatan bermunajat kepada-Nya dan kenyamanan berdekatan dengan-Nya.

https://urlscan.io/result/8aa53ba8-807a-4372-9afb-cd880298f3b1/
https://urlscan.io/domain/www.yukampus.com
https://urlscan.io/domain/www.yukinternet.com
Baca selengkapnya
Orang yang Paling Merugi Amalannya

Orang yang Paling Merugi Amalannya

Orang yang telah beramal namun tidak memperoleh manfaat apa-apa dari amalannya tersebut, maka ia orang yang merugi. Dan tersedia orang yang paling merugi lagi, yakni orang yang tidak memperoleh manfaat apa-apa dari amalannya namun ia tidak menyadarinya. Allah ta’ala berfirman:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu perihal orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya didalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi: 103-104).

Penjelasan Para Ulama Mari kami lihat penjelasan para ulama perihal siapakah mereka orang-orang yang merugi tersebut? Al Baghawi rahimahullah menjelaskan:

واختلفوا فيهم : قال ابن عباس وسعد بن أبي وقاص : هم اليهود والنصارى . وقيل : هم الرهبان

“Para ulama berlainan pendapat perihal siapa orang yang merugi didalam ayat ini. Ibnu Abbas dan Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan: mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sebagian mufassirin mengatakan: mereka adalah ruhban (pendeta Nasrani)” (Tafsir Al Bagahwi). Imam Ath Thabari membawakan sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu:

عن عليّ بن أبي طالب، أنه سئل عن قوله (قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالا) قال: هم كفرة أهل الكتاب ، كان أوائلهم على حقّ، فأشركوا بربهم، وابتدعوا في دينهم، الذي يجتهدون في الباطل، ويحسبون أنهم على حقّ، ويجتهدون في الضلالة، ويحسبون أنهم على هدى، فضلّ سعيهم في الحياة الدنيا، وهم يحسبون أنهم يحسنون صنعا

Dari Ali bin Abi Thalib, dikala ia ditanya perihal firman Allah ta’ala (yang artinya) “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu perihal orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Beliau menjawab: mereka adalah orang-orang kafir dari kalangan Ahlul Kitab. Awalnya mereka di atas kebenaran, lantas mereka berbuat syirik terhadap Rabb mereka. Dan mereka menyebabkan kebid’ahan-kebid’ahan, yang mereka melakukan dengan betul-betul didalam kebatilan. Dan mereka menganggap amalan mereka itu benar. Sehingga mereka pun bersungguh-sungguh didalam kesesatan dan menganggap diri mereka di atas petunjuk. Maka sesatlah mereka didalam kehidupan dunia dan mereka mengira diri mereka sedang melakukan kebaikan” (Tafsir Ath Thabari).

Maka orang yang paling merugi amalannya adalah orang-orang yang kufur kepada Allah, diantaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena mereka berbuat syirik kepada Allah namun mereka menganggap diri mereka sedang melakukan kebaikan. Sebagaimana disebutkan didalam lanjutan ayat:

أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا

“Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka terhadap hari kiamat” (QS. Al Kahfi: 105). Al Imam Al Qurthubi rahimahullah termasuk menjelaskan:

قال ابن عباس : ( يريد كفار أهل مكة ) . وقال علي : ( هم الخوارج أهل حروراء . وقال مرة : هم الرهبان أصحاب الصوامع )

“Ibnu Abbas berkata: yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang kafir Mekkah. Ali (bin Abi Thalib) berkata: yang dimaksud ayat ini adalah khawarij masyarakat Harura. Dalam peluang yang lain, Ali berkata: mereka adalah para pendeta yang tinggal di shuma’ah (tempat ibadah)” (Tafsir Al Qurthubi).

Imam Ath Thabari membawakan sebuah riwayat lain dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu:

عن أبي الطفيل، قال: سأل عبد الله بن الكوّاء عليا عن قوله (قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالا) قال: أنتم يا أهل حَروراء.

“Dari Abu Ath Thufail, ia berkata: Abdullah bin Al Kawwa’ menanyakan kepada Ali perihal firman Allah ta’ala (yang artinya) “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu perihal orang-orang yang paling merugi perbuatannya?””. Ali menjawab: itu adalah kalian wahai masyarakat Harura’ (Khawarij)” (Tafsir Ath Thabari).

Maka salah satu orang yang paling merugi adalah ahlul bid’ah, termasuk di dalamnya kaum Khawarij.  Karena tidak tersedia pelaku kebid’ahan, jika ia mengira sedang melakukan kebaikan dengan kebid’ahanya tersebut. Oleh karena itu Sufyan Ats Tsauri rahimahullah hingga mengatakan:

إن البدعة أحب إلى إبليس من المعصية لأن البدعة لا يُتاب منها والمعصية يُتاب منها

“Kebid’ahan itu lebih dicintai oleh iblis dari terhadap maksiat, karena pelaku bid’ah susah bertaubat sedangkan pelaku maksiat mudah bertaubat” (Syarhus Sunnah Al Baghawi, 1/216). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ

“Sungguh Allah menghambat taubat dari tiap tiap pelaku bid’ah hingga ia meninggalkan bid’ahnya”  (HR. Ath Thabrani didalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani didalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)

Dan seluruh orang yang amalannya batil dan tidak sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam baik berwujud kekufuran, kesyirikan dan kebid’ahan, maka pelakunya adalah orang-orang yang merugi. Amalannya tidak diridhai oleh Allah dan tidak di terima oleh Allah. Dijelaskan Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah:

فقال ” الذين ضل سعيهم ” في الحياة الدنيا ” أي عملوا أعمالا باطلة على غير شريعة مشروعة مرضية مقبولة ” وهم يحسبون أنهم يحسنون صنعا ” أي يعتقدون أنهم على شيء وأنهم مقبولون محبوبون .

“Firman Allah [orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya didalam kehidupan dunia ini] maksudnya orang-orang yang mengamalkan amalan-amalan yang batil, tidak sesuai syariat yang diridhai dan di terima oleh Allah. [sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya] maksudnya mereka berkeyakinan bahwa mereka berada di atas kebaikan dan sangat percaya amalan mereka di terima dan dicintai Allah” (Tafsir Ibnu Katsir).

https://urlscan.io/domain/www.yukristen.com
https://urlscan.io/domain/bersamakristus.org
https://urlscan.io/domain/www.mustafalan.com
Baca selengkapnya
Sebarkan Cahaya di Tengah Musibah

Sebarkan Cahaya di Tengah Musibah

Segala puji bagi Allah Zat yang telah menciptakan kematian dan kehidupan di dalam rangka menguji manusia siapakah di pada mereka yang paling baik amalnya. Zat yang telah mengutus Rasul-Nya bersama hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama yang ada. Sholawat beriring salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah beserta keluarga dan kawan akrab juga seluruh pengikut mereka yang setia hingga tegaknya kiamat di alam semesta. Amma ba’du.

Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk mencapai cinta dan ridho-Nya kepadaku dan dirimu. Perjalanan kehidupan sering kadang membawamu terperosok dan jatuh di dalam bermacam kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu terasa berat bagimu. Dadamu seolah-olah menjadi sesak. Bumi yang begitu luas terhampar seolah-olah menjadi sempit bagimu. Apakah kondisi ini dapat membawamu berputus asa wahai saudaraku, jangan. Akan namun bersabarlah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

واعلم أن النصر مع الصبر ، وأن الفرج مع الكرب ، وأن مع العسر يسرا

“Dan ketahuilah, sebetulnya kemenangan itu beriringan bersama kesabaran. Jalan terlihat beriringan bersama kesukaran. Dan sehabis kesulitan itu dapat datang kemudahan.” (Hadits riwayat Abdu bin Humaid di di dalam Musnad-nya bersama nomer 636, Ad Durrah As Salafiyyah hal. 148)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melukiskan kepada umatnya bahwa kesabaran itu bak sebuah sinar yang panas. Dia beri tambahan info di sekelilingnya dapat namun sebetulnya terasa panas menyengat di di dalam dada.

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ta’ala menyebabkan sebuah bab di di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab: Bersabar di dalam hadapi takdir Allah juga cabang keimanan kepada Allah).

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan di dalam penjelasannya perihal bab yang amat bermanfaat ini:

“Sabar tergolong perkara yang tempati kedudukan agung (di di dalam agama). Ia juga tidak benar satu bagian ibadah yang amat mulia. Ia tempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan bagian badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak dapat terealisasi tanpa kesabaran. Hal ini karena ibadah merupakan perintah syariat (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syariat (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian di dalam wujud musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba sehingga dia rela bersabar kala menghadapinya.

Maka hakikat penghambaan adalah tunduk melakukan perintah syariat serta jauhi larangan syariat dan bersabar hadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hambaNya. Dengan demikianlah ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana ketetapan takdir. Adapun ujian bersama ajaran agama sebagaimana tercermin di dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim berasal dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu di dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) bersama dirimu.’ Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian tahu memerlukan sikap sabar di dalam menghadapinya. Ujian yang ada bersama diutusnya beliau sebagai rasul ialah bersama wujud perintah dan larangan.

Untuk melakukan bermacam kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan bermacam larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula waktu hadapi ketetapan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga dibutuhkan bekal kesabaran. Oleh karena itulah beberapa ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar di dalam berbuat taat, sabar di dalam menghindar diri berasal dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

Karena amat sekurang-kurangnya dijumpai orang yang bisa bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun menyebabkan sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau melakukan di dalam rangka mengatakan bahwasanya sabar juga bagian berasal dari kesempurnaan tauhid. Sabar juga kewajiban yang mesti ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketetapan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak rela sabar itulah yang banyak terlihat di dalam diri orang-orang tatkala mereka beroleh ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau menyebabkan bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang mesti ditunaikan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga inginkan beri tambahan penegasan bahwa bersabar di dalam rangka menggerakkan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bhs sabar bermakna tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si Fulan dibunuh di dalam kondisi “shabr”) yakni tatkala dia berada di dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai di dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menghindar hati untuk tidak terasa marah dan menghindar bagian badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan di dalam wujud menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syariat, sabar artinya: “Menahan lisan berasal dari mengeluh, menghindar hati berasal dari marah dan menghindar bagian badan berasal dari menampakkan kemarahan bersama langkah merobek-robek suatu hal dan tindakan lain semacamnya.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di di dalam Al Quran kata sabar disebutkan di dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punyai kesabaran di dalam menggerakkan ketaatan, tidak punyai kesabaran untuk jauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan.”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: Salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala hadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang. Maka bersama perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau inginkan beri tambahan penegasan bahwa sabar juga tidak benar satu cabang keimanan. Beliau juga beri tambahan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu juga juga tidak benar satu cabang kekufuran. Sehingga tiap-tiap cabang kekafiran itu mesti dihadapi bersama cabang keimanan. Meratapi mayat adalah sebuah cabang kekafiran maka dia mesti dihadapi bersama sebuah cabang keimanan yakni bersabar pada takdir Allah yang terasa menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391).

Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِيَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa jikalau bersama izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah (bersabar) niscaya Allah dapat beri tambahan hidayah kepada hatinya. Allahlah yang maha tahu segala sesuatu.” (QS At Taghaabun: 11)

Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di di dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa seluruh musibah yang menimpa seorang individu di pada umat manusia, baik yang berkenaan bersama dirinya, hartanya atau yang lainnya hanya bisa terjadi bersama karena takdir berasal dari Allah. Sedangkan ketetapan takdir Allah itu tentu terlaksana tidak bisa dielakkan. Allah juga menyinggung barang siapa yang tulus mengakui bahwa musibah ini terjadi bersama ketetapan dan takdir Allah niscaya Allah dapat beri tambahan taufik kepadanya sehingga bisa untuk terasa ridho dan bersikap tenang tatkala menghadapinya karena yakin pada kebijaksanaan Allah. Sebab Allah itu maha tahu segala hal yang bisa menyebabkan hamba-hambaNya menjadi baik. Dia juga maha lembut kembali maha penyayang pada mereka.” (Al Jadiid, hal. 313).

Alqamah, tidak benar seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini berkata perihal seorang Laki-laki yang tertimpa musibah dan dia tahu bahwa musibah itu berasal berasal dari sisi Allah maka dia pun terasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.”

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan di dalam penjelasannya perihal perkataan Alqamah ini:

“Ini merupakan tafsir berasal dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid sahabat)- pada ayat ini. Ini merupakan penafsiran yang benar dan lurus. Hal itu disebabkan firman-Nya, ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah dapat beri tambahan hidayah ke di dalam hatinya,’ disebutkan di dalam konteks ditimpakannya musibah sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah,’ bermakna ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan melakukan perintah-Nya serta jauhi larangan-Nya. ‘Niscaya Allah dapat beri tambahan hidayah ke di dalam hatinya,’ yakni sehingga bersabar. ‘Allah dapat beri tambahan hidayah ke di dalam hatinya’ sehingga tidak terasa marah dan tidak terima. ‘Allah dapat beri tambahan hidayah ke di dalam hatinya,’ yakni untuk menunaikan bermacam macam ibadah. Oleh karena itulah beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat ini berkata perihal seorang Laki-laki yang tertimpa musibah dan karena dia tahu bahwa musibah itu berasal berasal dari sisi Allah maka dia pun terasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.’ Inilah kadar iman kepada Allah; ridho dan pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal. 391-392).

Dari ayat di atas kita bisa memetik banyak pelajaran berharga, di antaranya adalah:

Keburukan itu juga juga perkara yang telah ditakdirkan ada oleh Allah, sebagaimana halnya kebaikan.
Penjelasan agungnya nikmat iman. Iman itulah yang menjadi karena hati bisa mencapai hidayah dan merasakan ketenteraman diri.
Penjelasan perihal pengetahuan Allah yang meliputi segala sesuatu.
Balasan suatu kebaikan adalah kebaikan lain sesudahnya.
Hidayah taufik merupakan hak prerogatif Allah ta’ala.
(Al Jadiid, hal. 314).

Hukum Merasa Ridho Terhadap Musibah
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menjelaskan:

“Hukum terasa ridha bersama adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan pada ridho bersama sabar. Sedangkan anggapan yang tepat untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar hadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah tidak benar satu kewajiban yang mesti ditunaikan. Hal itu karena di di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak menerima pada ketetapan dan takdir Allah. Adapun ridho punyai dua sudut pandang yang berlainan:

Sudut pandang pertama, terarah kepada tingkah laku Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba terasa ridho pada tingkah laku Allah yang mengambil keputusan terjadinya segala sesuatu. Dia terasa ridho dan bahagia bersama tingkah laku Allah. Dia terasa bahagia bersama hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia terasa ridho pada bagian bagian yang didapatkannya berasal dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridho pada tingkah laku Allah ini juga tidak benar satu kewajiban yang mesti ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang mesti ada).

Sudut pandang kedua, terarah kepada kejadian yang diputuskan, yakni pada musibah itu sendiri. Maka hukum terasa ridho terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk terasa ridho bersama sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk terasa ridho bersama karena kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk terasa ridho bersama karena kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunahkan).

Oleh karena itu di dalam konteks selanjutnya (ridho yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, ‘Ayat ini berkata perihal seorang Laki-laki yang tertimpa musibah dan dia tahu bahwa musibah itu berasal berasal dari sisi Allah maka dia pun terasa ridha’ yakni terasa bahagia pada ketetapan Allah ‘dan ia bersikap pasrah’ karena ia tahu musibah itu datangnya berasal dari sisi (perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah tidak benar satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393).

Hikmah yang Tersimpan di Balik Musibah yang Disegerakan
Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah inginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan andaikan Allah meminta keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu hingga dibayarkan di waktu hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi bersama nomer 2396 di di dalam Az Zuhud. Bab perihal kesabaran hadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim di dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia dicantumkan di dalam Ash Shahihah karya Al Albani bersama nomer 1220).

Syaikhul Islam mengatakan:

“Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat, Karena ia menjadi karena dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta memalingkan ketergantungan hatinya berasal dari sesama makhluk, dan bermacam maslahat agung lainnya yang terlihat karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai karena penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini juga nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan makhluk, jikalau andaikan musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi terjerumus di dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum akan tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia menjadi keburukan baginya, andaikan ditilik berasal dari sudut pandang musibah yang menimpa agamanya.

Sesungguhnya ada di pada orang-orang yang andaikan mendapat ujian bersama kemiskinan, sakit atau terluka justru menyebabkan timbulnya sikap munafik dan protes di dalam dirinya, atau lebih-lebih penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan beberapa kewajiban yang dibebankan padanya dan tambah berkubang bersama bermacam hal yang diharamkan sehingga berakibat tambah membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesegaran lebih baik baginya. Hal ini andaikan ditilik berasal dari sisi pengaruh yang timbul sehabis dia mengalami musibah, bukan berasal dari sisi musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang bersama musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan tunduk melakukan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini sebetulnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi cocok bersama ketetapan Robb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji bersama suatu musibah kemudian diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus karenanya maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang berasal dari Allah). Dan andaikan dia memuji Robbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga dapat beroleh pujian-Nya.

أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) berasal dari Rabb mereka dan beroleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqoroh: 157)

Ampunan berasal dari Allah atas dosa-dosanya juga dapat didapatkan, begitu pula derajatnya pun dapat terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang hukumnya mesti ini niscaya dia dapat beroleh balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan Syaikhul Islam bersama ringkas (lihat Fathul Majiid, hal. 353-354).

Dari hadits di atas kita bisa memetik beberapa pelajaran berharga, yaitu:

Penetapan bahwa Allah punyai pembawaan Iradah (berkehendak), pastinya yang cocok bersama kemuliaan dan keagungan-Nya.
Kebaikan dan keburukan sama-sama telah ditakdirkan berasal dari Allah ta’ala.
Musibah yang menimpa orang mukmin juga isyarat kebaikan. Selama hal itu tidak menimbulkan dirinya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan.
Hendaknya kita terasa takut dan berhati-hati pada nikmat dan kesegaran yang sepanjang ini tetap kita rasakan.
Wajib berprasangka baik kepada Allah atas ketetapan takdir tidak mengenakkan yang telah diputuskan-Nya terjadi pada diri kita.
Pemberian Allah kepada seseorang bukanlah mesti bermakna Allah meridhoi orang tersebut.
(Al Jadiid, hal. 320 bersama sedikit penyesuaian redaksional).

Balasan Bagi Orang-Orang Yang Sabar
Allah ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ 155 الَّذِينَ إِذَآ أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ 156 أُوْلآئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُُ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلآئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Sungguh Kami dapat menguji kalian bersama sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang andaikan tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kita ini berasal berasal dari Allah, dan kita juga dapat kembali kepada-Nya.’ Mereka itulah orang-orang yang dapat beroleh ucapan sholawat (pujian) berasal dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beroleh hidayah.” (QS Al Baqoroh: 155-157)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan darinya, berupa celaan berasal dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian. Betapa jauhnya perbedaan pada ke-2 golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar andaikan dibandingkan bersama besarnya penderitaan yang mesti ditanggung oleh orang-orang yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76).

Allah ta’ala juga berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar: 10)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini berlaku lazim untuk seluruh jenis kesabaran. Sabar di dalam hadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan, yakni hamba tidak terasa marah karenanya. Sabar berasal dari kemaksiatan kepada-Nya, yakni bersama langkah tidak berkubang di dalamnya. Bersabar di dalam melakukan ketaatan kepada-Nya, sehingga dia pun terasa lapang di dalam melakukannya. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, bermakna tanpa batasan tertentu maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa diraih jikalau disebabkan karena begitu besarnya keutamaan pembawaan sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi Allah, dan menunjukkan pula bahwa Allahlah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721).

Semoga Allah memasukkan kita di kalangan hamba-hambaNya yang sabar. Wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

https://ask.studybible.info/user/donabisnis
https://therapyquestionmark.co.uk/forum/member.php?action=profile&uid=18654
https://topsitenet.com/article/476512-cara-membangun-website-bisnis-menarik/
Baca selengkapnya
10 Makna Kenaikan Isa Al Masih

10 Makna Kenaikan Isa Al Masih

Makna Kenaikan Isa Almasih atau Kenaikan Yesus Kristus merupakan momen yang terjadi 40 hari sehabis kebangkitan Yesus. Peristiwa kenaikan Yesus ini disaksikan oleh para muridnya. Alkitab mencatat bahwa Yesus Kristus terangkat naik ke langit dan lantas hilang dari pandangan sehabis tertutup oleh awan.

Setelah Yesus terangkat ke Sorga, dua malaikat keluar dan berjanji bahwa Yesus Kristus akan kembali serupa seperti mereka melihatNya naik ke Sorga. Peristwa kenaikan Yesus Kristus ini pastinya miliki makna. Adapun makna dari kenaikan Yesus adalah sebagai berikut.

1. Misi Yesus di bumi udah selesai

Ada dua tugas misi Yesus di bumi yakni untuk memberitakan Injil dan mengimbuhkan nyawaNya untuk menebus dosa manusia. Karena misiNya udah selesai, Ia lantas naik ke Sorga untuk kembali dengan dengan Bapa.

2. Roh Kudus diutus ke bumi

Saat Perjamuan Terakhir dengan dengan para muridNya, Yesus berjanji untuk mengimbuhkan Seorang Penghibur bagi mereka. Seorang Penghibur ini akan datang sehabis Yesus naik ke Sorga. Roh Kudus ini akan menyertai para murid hingga senantiasa menggantkan posisiNya di bumi.

3. Tugas pemberitaan Injil udah diserahkan Yesus kepada GerejaNya

Sebelum Yesus naik ke Sorga, Ia terlebih dahulu mengimbuhkan tugas kepada para murid untuk memberitakan Injil kepada segala bangsa. Pemberitaan Injil merupakan misi utama Yesus dikala Ia ada di dunia. Kini, misi itu jadi tugas GerejaNya.

4. Yesus adalah Tuhan

Sorga merupakan kediaman Tuhan dengan dengan para malaikatNya dan bukan merupakan kediaman manusia. Dengan terangkatnya Yesus ke Sorga udah menunjukkan Ia adalah Tuhan. Yesus adalah Tuhan yang turun ke bumi ini dalam rupa manusia. Ia datang ke bumi untuk menyelamatkan dosa manusia. Oleh dikarenakan itu, dikala misiNya udah selesai, Ia kembali kembali ke Sorga.

5. Yesus adalah penguasa dunia

Setelah Yesus naik ke Sorga, disebutkan bahwa Ia duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Sebelah kanan sendiri miliki makna otoritas, wewenang dan kekuasaan. Jika seseorang duduk disebelah kanan raja maka ia miliki otoritas dan kekuasaan selain raja. Demikian terhitung dengan Yesus. Ia miliki wewenang untuk memerintah di Sorga dengan dengan Bapa. Dan dari Sorga kelak, Ia akan datang untuk menghakimi segala dosa manusia dan akan memerintah sebagai raja selamanya.

6. Yesus hamba yang diperkenan Allah

Sebagai seorang hamba dalam rupa manusia, Yesus sangat rela di hadapan Allah. Allah menghargai apa yang ditunaikan oleh Yesus dikarenakan sepanjang pelayananNya Ia wajib menderita, disalibkan lantas mati. Ia begitu terhina di duna ini. Karena Ia rela di hadapan Allah, maka Allah dengan dengan Yesus memerintah di Sorga dan Yesus pun duduk disebelah kanan Allah Bapa.

7. Yesus jadi pendoa bagi kita

Setelah Yesus naik ke Sorga dan duduk disebelah kanan Allah Bapa, pastinya Yesus tidak cuma diam saja. Disana Ia jadi pengatara bagi kita. Pengatara yang dimaksud ialah Yesus di Sorga berdoa syafaat bagi kita semua.

8. Yesus menyediakan daerah bag kita umatNya

Salah satu alasan Yesus naik ke Sorga yakni untuk menyediakan daerah bagi kita umatNya. Setelah Ia selesai buat persiapan daerah bagi kita, a akan datang kembali ke dunia ini untuk menjemput manusia supaya kita mampu dengan denganNya selama-lamanya.

9. Yesus akan datang kembali ke dunia

Yesus akan datang kembali ke dalam dunia. CaraNya datang ke dunia ini serupa seperti dikala Ia naik ke Sorga yakni penuh kemuliaan dan disertai oleh para malaikat. Ia datang kembali ke dunia ini untuk menghakimi manusia, memerintah dalam KerajaanNya yakni Kerajaan Seribu Tahun.

10. Nubuat Alkitab mampu dipercayai

Kenaikan Yesus ke Sorga merupakan penggenapan nubuat Alkitab terlebih nubuatan dalam Perjanjian Lama. Demikianlah artikel ini dibuat. Kiranya artikel ini mampu jadi berkat bagi kita seluruh supaya kita mampu memaknai makna memang dari kenaikan Yesus ke Sorga.

https://www.max2play.com/en/forums/users/donabisnis/
https://mundoalbiceleste.com/members/ubhe96/activity/1300809/
https://developers.oxwall.com/user/donabisnis
Baca selengkapnya
Cara Menjadi Seorang Pendeta

Cara Menjadi Seorang Pendeta

Apa yang pertama kali anda peduli tentang pendeta? Mungkin kebanyakan orang berpikir bahwa pendeta itu merupakan hamba Tuhan, pelayan Gereja, orang yang melayani Tuhan dengan sungguh, orang yang dipanggil Tuhan atau bisa saja banyak lagi pendapat tentang apa itu pendeta. Mungkin masih banyak termasuk di antara kami yang berasumsi bahwa untuk menjadi pendeta haruslah mengenyam di bangku kuliah terutama di Fakultas yang menyediakan tumpuan untuk menjadi seorang pendeta seperti fakultas Teologi, Seminari atau Sekolah Alkitab.

Lalu bagaimana kalau tersedia orang yang menjadi pendeta tanpa mesti berkuliah di jurusan Teologi? Teologi sendiri sebetulnya diambil kesimpulan sebagai science yang mulanya menjadi sebuah wacana atau logos tentang Tuhan (Theos) untuk mengkaji ilmu yang merupakan refleksi atas iman. Sebenarnya fakultas Teologi sendiri tidak selamanya membuahkan seorang pendeta tetapi justru suatu upaya untuk menarik seseorang agar terus melayani Tuhan sebagai seorang mahasiswa Teologi dan bukan sebagai calon pendeta.

Pendeta sendiri merupakan sebuah jalan hidup yang dipilih oleh seseorang yang lahir berasal dari sebuah pergulatan eksistensial, agar pendeta lebih berasal dari sekadar profesi semata saja. Kependetaan sendiri dapat digapai oleh siapa pun sepanjang orang itu terus menghasrati dan mengilhami hidupnya untuk terus melayani Tuhan dan sesama. Tuhan Yesus Menyelamatkan Kita, 8 cara ini agar kami dekat denganNya

Dengan demikian, menjadi pendeta lebih mengarah terhadap sebuah panggilan hidup yang dapat digapai oleh siapa saja sepanjang dia menghidupi Tuhan disetiap cara hidupnya. Menjadi pendeta tidak hanya dapat ditunaikan oleh orang yang bersekolah di Fakultas Teologi saja dikarenakan panggilan hidup untuk melayani Tuhan dapat berjalan terhadap semua orang. Berikut ini cara yang dapat ditunaikan untuk menjadi seorang pendeta.

1. Langkah 1. Miliki Kecerdasan

Hal yang mesti ditunaikan untuk menjadi seorang pendeta adalah dengan berdoa dan bercermin apakah keputusan untuk menjadi pendeta ini udah merupakan panggilan berasal dari Tuhan atau belum. Mintalah hikmat dan bimbingan Tuhan untuk mendapatkan jawaban atas pilihan atas untuk menjadi seorang pendeta. Mempertimbangkan apa yang orang lain katakan tentang anda

Anda termasuk mesti pertimbangkan apa yang orang lain katakan tentang anda tentang keputusan anda untuk menjadi seorang pendeta. Jika sebetulnya orang lain menyatakan bahwa anda mempunyai dedikasi untuk menjadi pendeta maka keputusan anda untuk menjadi seorang pendeta udah didukung.

2. Langkah 2. Mengetahui apa yang anda harapkan dengan menjadi seorang pendeta

Hal setelah itu anda mesti memahami sebetulnya apa yang anda harapkan dengan menjadi seorang pendeta. Jika anda belum memahami atau masih sangsi untuk menjawabnya maka berdoalah dan minta hikmat kepadaNya dikarenakan menjadi pendeta bermakna siap termasuk untuk melayani bahkan mengalami penolakan.

3. Langkah 3. Konsultasi dengan pendeta yang tersedia di gereja anda

Jika anda masih sangsi dengan keputusan anda untuk menjadi seorang pendeta maka anda dapat mengkonsultasikannya dengan pihak gereja seperti pendeta. Anda termasuk dapat mengutarakan maksud dan target anda untuk menjadi pendeta agar anda dapat lebih yakit untuk melangkah menjadi seorang pendeta.

4. Langkah 4. Mencari seorang mentor

Mentor merupakan seseorang yang dapat memberi tambahan perlindungan kepada anda secara pribadi. Seorang mentor termasuk dapat menguatkan anda dikala anda menjadi lemah dan jatuh. Ketika anda menjadi kehilangan arah untuk menjadi seorang pendeta, anda dapat bercerita kepada mentor anda agar anda terus mempunyai kepercayaan untuk melayani Tuhan.

5. Langkah 5. Masuk ke sekolah seminar

Untuk memperdalam iman kekristenan anda, yang dapat anda melakukan setelah itu adalah masuk sekolah seminar dan ikuti tiap tiap aktivitas yang ditunaikan agar diri anda lebih siap untuk menjadi seorang pendeta.

6. Langkah 6. Hadir dalam penobatan anda menjadi seorang pendeta

7. Langkah 7. Masuk ke era percobaan menjadi seorang pendeta

8. Langkah 8. Melayani Tuhan dan sesama dengan menjadi seorang pendeta

Demikianlah artikel ini dibuat. Kiranya artikel ini dapat memberi tambahan Info bagi kami semua. Teruslah melayani Tuhan dan sesama dimanapun dan kapanpun itu.

https://www.sitelike.org/similar/donabiisnis.com
https://www.sqworl.com/bcatt2
 https://my.sterling.edu/ICS/Academics/LL/LL379__UG08/FA_2008_UNDG-LL379__UG08_-A/Content_Marketing.jnz?portlet=Content_Marketing&screen=Main&screenType=change
Baca selengkapnya